December 11, 2017

SUFI TIDAK SAJA MENDENGAR, TAPI BERPUISI

BBB, 21 Jamadil-Awwal 1439H. = 10 Disember 2017M. (Ahad):
Alam ketasawufan mempunyai hubungan yang rapat dengan alam kepuisian. Tasawuf  adalah bersifat  dalaman yang dikaitkan dengan jiwa, demikian dengan alam kepuisian berhubung dengan dalaman diri  dan dikaitkan dengan hati nurani. Yang dialami dalam tasawuf seperti takut, mesra, cinta dan sebagainya juga dialami oleh alam kepuisian. Di dalam tasawuf ada elemen seperti ilham, dekat, jinak, wujdan  dan sebagainya juga dialami di dalam kepuisian. Apa yang tercurah dari jiwa sufi  yang biasanya usaha mendekati diri kepada Allah juga ada dari segi pengluahan hati yang mungkin bersifat alamiah. Tetapi tidak jarang pula jiwa kesufian bersatu bersama jiwa kepuisian dan tercurah sama didalam ungkapan bersifat tasawuf dengan menggunakan medium puisi. Dan ini tidak asing dari dunia sufi dan puisi. Jadi kalangan sufi tidak saja mendengar, tetapi sebahagian daripada mereka menggunakan medium puisi didalam meluahkan alam kesufian mereka. Jadi selain dari mengungkapkan pengalaman kerohanian di dalam bahasa prosa, mereka juga menggunakan medium puisi di dalam mengungkapkan pengalaman tasawuf.
Sebenarnya sebahagian dari kalangan sufi mampu berpuisi dan menzahirkan pengalaman rohaniah mereka di dalam bentuk puisi. Bahkan adalah menjadi kebiasaan sesebuah kitab tasawuf selain menulis persoalan tasawuf dalam bahasa prosa biasa, maka di sana sini di dalam kitab tasawuf terdapat selingan penggunaan puisi bagi mengukuhkan pendapat dan pengalaman kesufian yang dengannya mengindahkan ungkapan, bahkan mendalamkan persoalan dan perutusan. Sebagai contoh ambil  saja kitab Al-Luma` oleh Abu Nas*r al-Sarraj di dalamnya  terdapat ratusan bayt puisi yang menjadi hiasan persoalan. Puisi-puisi ini pula adalah dari berbagai sufi yang menggunakan puisi bagi melahirkan pengalaman mereka yang bersifat intuitif sekaligus menggambakan kehalusan jiwa mereka berhubung dengan persoalan-persoalan tasawuf. Sufi-sufi yang berpuisi yangdipetik oleh Al-Sarraj ialah seperti Al-Junayd al-Baghdadi, Al-Shibli, Dzu al-Nun al-Misri,  Abu al-Husain al-Nuri, Abu `Ali al-Rudzbari, Sari al-Saqati dan ramai lagi. Sebagai contoh penggunaan puisi diungkapkan oleh Al-Junayd tentang al-jam`u dan al-tafriqah (Himpun dan pecah), katanya:
Tahqiq dalaman  diri lantas berlari pada lisan
Berhimpun dari segi makna dan juga perpisahan
Ianya mungkin menyerlahkan tentang  keaiban
Sesungguhnya meningkatkan wujdan kenyataan.
(Abu Nas*r al-Sarraj, 1380/1960: 283).
Shibli antara yang banyak mengungkapkan pengalaman tasawufnya di dalam puisi. Misalnya ia menggambarkan tentang kesabaran sebagaimana berikut:
Pertanda tergaris di dahi nyata,
Boleh dibaca, yang tak tahu membaca,
Suara pencinta getir dan bimbang
Oleh perpisahan mewarisi penderitaan,
Jadilah sabar bertindih sabar,
Gema sabar terus menuntut  sabar.
(Al-Sarraj: 77).
Dan Dzu al-Nun al-Mis*ri antara yang banyak berpuisi. Antaranya katanya, (tentang lazat mengingati Allah):
Siapa lazat dengan Allah berjaya dengan Allah,
Rahsianya rahsia dengan qadha`  dari Allah,
Kalau tidak diriku dalam gengaman Allah
Bagaimana aku boleh selamat dari hukum Allah
Bagi diri nafas berlari kerana  Allah
Tiada daya kuasa selain  dari Allah.
(Al-Sarraj: 318).
Shibli merasa mesra dengan dzikir mengingati Allah. Menyebut Allah adalah kelazatan, lantaran dalam puisi ini kalimah Allah diulang-ulang.
Ungkapan di atas adalah menjadi ulangan tabhil dan dzikir yang memesrakan diri dengan Allah.

Sekian.

No comments:

Post a Comment