BBB, 21 Jamadil-Awwal 1439H. = 10 Disember
2017M. (Ahad):
Alam ketasawufan mempunyai hubungan yang rapat
dengan alam kepuisian. Tasawuf adalah
bersifat dalaman yang dikaitkan dengan
jiwa, demikian dengan alam kepuisian berhubung dengan dalaman diri dan dikaitkan dengan hati nurani. Yang
dialami dalam tasawuf seperti takut, mesra, cinta dan sebagainya juga dialami
oleh alam kepuisian. Di dalam tasawuf ada elemen seperti ilham, dekat, jinak,
wujdan dan sebagainya juga dialami di
dalam kepuisian. Apa yang tercurah dari jiwa sufi yang biasanya usaha mendekati diri kepada
Allah juga ada dari segi pengluahan hati yang mungkin bersifat alamiah. Tetapi
tidak jarang pula jiwa kesufian bersatu bersama jiwa kepuisian dan tercurah
sama didalam ungkapan bersifat tasawuf dengan menggunakan medium puisi. Dan ini
tidak asing dari dunia sufi dan puisi. Jadi kalangan sufi tidak saja mendengar,
tetapi sebahagian daripada mereka menggunakan medium puisi didalam meluahkan
alam kesufian mereka. Jadi selain dari mengungkapkan pengalaman kerohanian di
dalam bahasa prosa, mereka juga menggunakan medium puisi di dalam mengungkapkan
pengalaman tasawuf.
Sebenarnya sebahagian dari kalangan sufi mampu
berpuisi dan menzahirkan pengalaman rohaniah mereka di dalam bentuk puisi.
Bahkan adalah menjadi kebiasaan sesebuah kitab tasawuf selain menulis persoalan
tasawuf dalam bahasa prosa biasa, maka di sana sini di dalam kitab tasawuf
terdapat selingan penggunaan puisi bagi mengukuhkan pendapat dan pengalaman
kesufian yang dengannya mengindahkan ungkapan, bahkan mendalamkan persoalan dan
perutusan. Sebagai contoh ambil saja
kitab Al-Luma` oleh Abu Nas*r al-Sarraj di dalamnya terdapat ratusan bayt puisi yang menjadi
hiasan persoalan. Puisi-puisi ini pula adalah dari berbagai sufi yang
menggunakan puisi bagi melahirkan pengalaman mereka yang bersifat intuitif
sekaligus menggambakan kehalusan jiwa mereka berhubung dengan
persoalan-persoalan tasawuf. Sufi-sufi yang berpuisi yangdipetik oleh Al-Sarraj
ialah seperti Al-Junayd al-Baghdadi, Al-Shibli, Dzu al-Nun al-Misri, Abu al-Husain al-Nuri, Abu `Ali al-Rudzbari,
Sari al-Saqati dan ramai lagi. Sebagai contoh penggunaan puisi diungkapkan oleh
Al-Junayd tentang al-jam`u dan al-tafriqah (Himpun dan pecah), katanya:
Tahqiq dalaman
diri lantas berlari pada lisan
Berhimpun dari segi makna dan juga perpisahan
Ianya mungkin menyerlahkan tentang keaiban
Sesungguhnya meningkatkan wujdan kenyataan.
(Abu Nas*r al-Sarraj, 1380/1960: 283).
Shibli antara yang banyak mengungkapkan
pengalaman tasawufnya di dalam puisi. Misalnya ia menggambarkan tentang
kesabaran sebagaimana berikut:
Pertanda tergaris di dahi nyata,
Boleh dibaca, yang tak tahu membaca,
Suara pencinta getir dan bimbang
Oleh perpisahan mewarisi penderitaan,
Jadilah sabar bertindih sabar,
Gema sabar terus menuntut sabar.
(Al-Sarraj: 77).
Dan Dzu al-Nun al-Mis*ri antara yang banyak
berpuisi. Antaranya katanya, (tentang lazat mengingati Allah):
Siapa lazat dengan Allah berjaya dengan Allah,
Rahsianya rahsia dengan qadha` dari Allah,
Kalau tidak diriku dalam gengaman Allah
Bagaimana aku boleh selamat dari hukum Allah
Bagi diri nafas berlari kerana Allah
Tiada daya kuasa selain dari Allah.
(Al-Sarraj: 318).
Shibli merasa mesra dengan dzikir mengingati
Allah. Menyebut Allah adalah kelazatan, lantaran dalam puisi ini kalimah Allah
diulang-ulang.
Ungkapan di atas adalah menjadi ulangan tabhil
dan dzikir yang memesrakan diri dengan Allah.
Sekian.
No comments:
Post a Comment